Rabu, 25 Juli 2012

BRAIN BASED LEARNING (BBL)

Brain Based Learning (BBL)
Pendidikan merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Namun, kualitas pendidikan di Indonesia sampai saat ini masih belum menggembirakan,
Berdasarkan pemaparan di atas, berarti dibutuhkan sebuah pendekatan pembelajaran yang mengoptimalkan kerja otak serta diperkirakan dapat meningkatkan motivasi belajar yaitu dengan pendekatan Brain Based Learning. Pendekatan Brain Based Learning (Jensen, 2008: 12) adalah pembelajaran yang diselaraskan dengan cara otak yang didesain secara alamiah untuk belajar.
Tahap-tahap perencanaan pembelajaran Brain Based Learning yang diungkapkan Jensen dalam bukunya yaitu tahap pra-pemaparan, persiapan, inisiasi dan akuisisi, elaborasi, inkubasi dan memasukkan memori, verifikasi dan pengecekan keyakinan, dan yang terakhir adalah perayaan dan integrasi. Sedangkan tiga strategi utama yang dapat dikembangkan dalam implementasi Brain Based Learning (Sapa’at, 2009) yaitu: (1) menciptakan lingkungan belajar yang menantang kemampuan berpikir siswa; (2) menciptakan lingkungan pembelajaran yang menyenangkan; dan (3) menciptakan situasi pembelajaran yang aktif dan bermakna bagi siswa. 

Brain based learning 
Brain based learning adalah sebuah konsep untuk menciptakan pembelajaran dengan berorientasi pada upaya pemberdayaan potensi otak siswa.
Tiga strategi utama yang dapat dikembangkan dalam implementasi Brain Based Learning (Jensen, 2008). 
Pertama, menciptakan lingkungan belajar yang menantang kemampuan berpikir siswa. Dalam setiap kegiatan pembelajaran, sering-seringlah guru memberikan soal-soal materi pelajaran yang memfasilitasi kemampuan berpikir siswa dari mulai tahap pengetahuan (knowledge) sampai tahap evaluasi menurut tahapan berpikir berdasarkan Taxonomy Bloom. Soal-soal pelajaran dikemas seatraktif dan semenarik mungkin misalnya melalui teka-teki, simulasi games, tujuannya agar siswa dapat terbiasa untuk mengembangkan kemampuan berpikir dalam konteks pemberdayaan potensi otak siswa.
Kedua, menciptakan lingkungan pembelajaran yang menyenangkan. Hindarilah situasi pembelajaran yang membuat siswa merasa tidak nyaman dan tidak senang terlibat di dalamnya. Lakukan pembelajaran di luar kelas pada saat-saat tertentu, iringi kegiatan pembelajaran dengan musik yang didesain secara tepat sesuai kebutuhan di kelas, lakukan kegiatan pembelajaran dengan diskusi kelompok yang diselingi dengan permainan-permainan menarik, dan upaya-upaya lainnya yang mengeliminasi rasa tidak nyaman pada diri siswa. Howard Gardner dalam Buku Quantum Learningkarya De Porter, Bobbi, & Mike Hernacki menyatakan bahwa seseorang akan belajar dengan segenap kemampuan apabila dia menyukai apa yang dia pelajari dan dia akan merasa senang terlibat di dalamnya.
Ketiga, menciptakan situasi pembelajaran yang aktif dan bermakna bagi siswa (active learning). Siswa sebagai pembelajar dirangsang melalui kegiatan pembelajaran untuk dapat membangun pengetahuan mereka melalui proses belajar aktif yang mereka lakukan sendiri. Bangun situasi pembelajaran yang memungkinkan seluruh anggota badan siswa beraktivitas secara optimal, misal mata siswa digunakan untuk membaca dan mengamati, tangan siswa bergerak untuk menulis, kaki siswa bergerak untuk mengikuti permainan dalam pembelajaran, mulut siswa aktif bertanya dan berdiskusi, dan aktivitas produktif anggota badan lainnya.
Merujuk pada konsep konstruktivisme pendidikan, keberhasilan belajar siswa ditentukan oleh seberapa mampu mereka membangun pengetahuan dan pemahaman tentang suatu materi pelajaran berdasarkan pengalaman belajar yang mereka alami sendiri.
Riset menunjukkan (Given, 2007) bahwa otak mengembangkan lima sistem pembelajaran primer yaitu emosional, sosial, kognitif, fisik dan reflektif. Jika guru memahami bagaimana sistem pembelajaran primer (emosional, sosial, kognitif, fisik, reflektif) berfungsi, maka mengajar akan lebih efektif dan merasakan kegembiraan lebih besar dalam mengajar.
Dari uaraian di atas Brain based learning bisa diterapkan dalam pembelajaran matematika. sistem pembelajaran kognitif memang sangat berkaitan langsung dalam pembelajaran matematika, walupun begitu bukan berarti aspek kognitif saja yang harus dikembangkan dalam pembelajaran matematika, hal ini dikarenakan aspek kognitif tidak akan berkembang dengan optimal jika dalam pembelajaran tidak melibatkan komponen otak yang lain.
Sistem Pembelajaran Emosional
Hasil riset (Sorkresno,2007) menunjukkan bahwa efektivitas belajar sangat ditentukan oleh suasana emosi. Bagian otak yang sangat berperan dalam mempengaruhi seseorang adalah system limbic, sehingga bagian ini sering disebut otak emosi.
Agar emosi dapat berperan secara optimal, maka otak emosi membutuhkan suasana yang cocok dengan konsep pendidikan yaitu proses belajar harus menyenangkan, memberikan pengalaman yang bermakana dan relevan, melibatkan aspek multi sensori manusia, memberikan pengalaman unik dan menantang.
Penelitian mengungkapkan bahwa kognisi dan emosi saling mempengaruhi walaupun kognisi dan emosi berasal dari otak berbeda (Jensen, 2007:9). Emosi positf dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan, sedangkan emosi negative akan menghabat prestsi akademis. Tetappi emosi negatif berkembang untuk mengaktifkan system perhatian/pemecahan masalah otak sehingga system tersebut bias merespon tantangan berbahaya (Given, 2007:79).
Sistem pembelajaran emosional otak menentukan individualitas seseorang. 
Guru harus menciptakan suasana kelas yang kondusif bagi keamanan emosional dan hubungan pribadi agar siswa belajar secara efektif. Guru yang memupuk emosional berfungs sebagai mentor dan membantu siswa menemukan hasrat untuk belajar, dengan membimbing mereka mewujudakan target pribadi yang masuk akal, dan mendukung siswa dalam upaya untuk mencapai yang ditargetkan.
Pada umumnya siswa menganggap matematika menakutkan dan sulit sehingga membuat stress dan jenuh, maka diperlukan pembelajaran matemetika yang menyenangkan. Hal ini sejalan dengan sistem pembelajran emosional pada model Brain Based Learning. Menurut Given (2007:80) dengan pembelajaran yang menyenangkan akan membuat koneksi atau hubungan antara belahan otak kanan dan kiri menjadi lebih cepat, sehingga lebih membuat siswa dapat dapat berfikir tentang pemecahan masalah matematika.
Sistem Pembelajaran Sosial
Sistem pembelajaran sosial adalah hasrat untuk menjadi bagian dari kelompok, 
untuk dihormati,dan untuk menikmati perhatian dari orang lain. Jika sitem emosional bersifat pribadi, berpusat pada diri dan internal, makka sistem sosial berfokus pada interaksi dengan orang lain atau pengalaman interpersonal.
Kebutuhan sosial siswa memaksa pendidik untuk mengelola sekolah menjadi komunitas pelajar, tempat guru dan siswa bisa bekerja sama dalam tugas pengambilan keputusan dan pemecahan masalah yang nyata. Didalam komunitas pelajar guru dan siswa saling berhubungan sebagai keluarga dan siswa menerima penghaargaan dan perhatian untuk kelebihan mereka. Dengan berfokus pada kelebihan siswa dalam konteks kelas memaksimalkan perkembangan sosial melaluai kerja sama antar individu, perbedaan diantara siswa justru menciptakan petualangan yang kreatif dalam pemecahan masalah.
Sehubungan hal di atas, hubungan pembelajaran matematika dengan sistem pembelajaran sosial, jika siswa mengikuti pembelajaran matematika dengan hasrat besar dan dipenuhi dengan rasa keingintahuan, tetapi gagal dalam bersosialisasi dikelas maka proses pembelajaran yang dilalui akan menjadi tugas-tugas sulit yang harus dihindari. Karena pada dasarnya manusia memiliki kecendrungan untuk berkelompok dan bekerjasama. Dengan bekerjasama siswa dapat menemukan beberapa alternatif dugaan jawaban, dan mendiskusikan untuk menentukan jawaban yang benar. Untuk itu dalam proses pembelajaran matematika siswa di kelompokan untuk mendiskusikan konsep atau soal pemecahan matemaatika, sehingga atara siswa dengan siswa, siswa dengan guru bisa saling berinteraksi bertukar pendapat untuk mendiskusikan soal pemecahan matematik.

Sistem Pembelajaran Kognitiif 
Sistem pembelajaran kognitif adalah sistem pemrosesan informasi pada otak. Sistem ini menyerap input dari luar dan semua sistem yang lain, menginterpretsikan input tersebut, serta memandu pemecahan masalah dan pengambilan keputusan. Karena terkait langsung dengan pembelajaran akademis, sistem ini sangat diperhatikan oleh pendidik.
Pembelajaran matematika yang melibatkan pemecahan masalah adalah aktivitas yang paling baik untuk perkembangan otak karena meningkatkan konektivitas antar neuron, jumlah sel saraf, dan masa otak secara keseluruhan. Masalah-masalah yang akan di pecahkan harus baru, menantang, tidak mengancam, dan merangsang emosi.
Sistem Pembelajaran Fisik 
Sistem pembelajaran fisik otak mengubah hasrat, visi, dan niat menjadi tindakan, karena sistem operasi ini didorong untuk melakukan sesuatu. Riset (Given, 2007:251) menunjukkan bahwa tubuh memiliki pengruh sangat spesifik terhadap mekanisme pikiran, karenanya dalam berbagai cara tubuh memiliki memiliki pikirannya sendiri. Sistem pembelajaran fisik otakmelibatkan proses interaksi dengan lingkungan untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilan baru, atau mengungkapkan beragam emosi atau konsep.
Efektivitas belajar sangat dipengaruhui oleh pembelajaran fisik, karena gerak badan dan rangsangan mental adalah cara terbaik untuk menjaga agar otak selalu siap untuk belajar. Gerak badan dan rangsangan mental menaikan kadar amino dan memperbaikai daya ingat serta perhatian.
Hubungannya dengan pembelajaran matematika, bahwa kosep matematika akan lebih bermakna jika siswa berperan aktif dalam menemukan konsep tersebut. Konsep tersebut tidak diberikan langsung oleh guru, melinkan melalui sejumlah rangkaian kegiatan yang harus dilakukan oleh siswa. Hal ini sejalan dengan sistem pembelajaran kognitif pada model Brain Based Learning,misalnya untuk menerangkan jarak yang melibatkan titik, garis dan bidang pada bangun ruang, dalam pembelajaran siswa di bawa keluar kelas untuk membuat sketsa gambar benda ruang di sekitar yang menujukan jarak titik, garis dan bidang pada bangun ruang. Keterlibatan siswa secara aktif sejalan dengan sistem pembelajaran fisik pada model Brain Based Learning.
Sistem Pembelajaran Reflektif
Pemebelajaran reflektif merupakan merupakan sistem yang memantau dan mengatur aktivitas semua sistem otak yang lainnya. Pembelajaran reflektif berurusan dengan fungsi eksekutif otak dan tubuh, seperti pemikiran tingkat tingggi dan pemecahan masalah. Sistem pembelajaran reflektif menuntut siswa untuk memahami diri sendiri dan ini bia dikembangakan melalui uji-coba dengan berbagai cara pembelajaran.

Setelah siswa berperan aktif dalam menemukan konsep matematika, siswa juga perlu meninjau kembali kesahihan konsep yang diperolehnya, kemampuan untuk menilai kembali dan mencari solusi jika terdapat kesalahan. Selain itu juga dalam proses pembelajaran matematika, perlu adanya introveksi selama proses pembelajaran berlangsung. Artinya siswa bisa belajar untuk bertanya pada diri sendiri, ”Apakah aku belajar lebih baik dengan mendengarkan ketimbang membaca, atau apakah Aku bisa memecahkan masalah matematika sesuai konsep, atau apakah Aku belajar lebih baik ketika kerja kelompok ketimbang bekerja sendiran. Kemampuan ini merupakan tugas dari pembelajaran reflektif pada model Brain Based Learning, yaitu di setiap akhir pembelajaran guru memberikan soal evaluasi, selain itu juga guru mengarahkan agar siswa berintroveksi apakah hasil tujuan pembelajaran yang sudah ditargetkan sudah terpenuhi atau belum.
Pendekatan Brain Based Learning
Brain Based Learning (Jensen, 2008: 12) adalah pembelajaran yang diselaraskan dengan cara otak yang didesain secara alamiah untuk belajar. Sejalan dengan hal tersebut, Sapa’at (2009) juga mengungkapkan bahwa Brain Based Learning menawarkan sebuah konsep untuk menciptakan pembelajaran yang berorientasi pada upaya pemberdayaan potensi otak siswa.
Dalam menerapkan pendekatan Brain Based Learning, ada beberapa hal yang harus diperhatikan karena akan sangat berpengaruh pada proses pembelajaran, yaitu lingkungan, gerakan dan olahraga, musik, permainan, peta pikiran (mind map), dan penampilan guru.

Tahap-tahap pembelajaran dengan menggunakan pendekatan Brain Based Learning yang diungkapkan Jensen dalam bukunya yaitu:
  • Pra-Pemaparan : Pra-pemaparan membantu otak membangun peta konseptual yang lebih baik (Jensen, 2008: 484).
  • Persiapan : Dalam tahap ini, guru menciptakan keingintahuan dan kesenangan (Jensen, 2008: 486).
  • Inisiasi dan akuisisi : Tahap ini merupakan tahap penciptaan koneksi atau pada saat neuron-neuron itu saling “berkomunikasi” satu sama lain (Jensen, 2008: 53).
  • Elaborasi : Tahap elaborasi memberikan kesempatan kepada otak untuk menyortir, menyelidiki, menganalisis, menguji, dan memperdalam pembelajaran (Jensen, 2008: 58).
  • Inkubasi dan memasukkan memori : Tahap ini menekankan bahwa waktu istirahat dan waktu untuk mengulang kembali merupakan suatu hal yang penting (Jensen, 2008: 488).
  • Verifikasi dan pengecekan keyakinan : Dalam tahap ini, guru mengecek apakah siswa sudah paham dengan materi yang telah dipelajari atau belum. Siswa juga perlu tahu apakah dirinya sudah memahami materi atau belum.
  • Perayaan dan integrasi : Tahap ini menanamkan semua arti penting dari kecintaan terhadap belajar (Jensen, 2008: 490).
Strategi pembelajaran utama yang dapat dikembangkan dalam implementasi Brain Based Learning (Sapa’at, 2009) yaitu: (1) menciptakan lingkungan belajar yang menantang kemampuan berpikir siswa; (2) menciptakan lingkungan pembelajaran yang menyenangkan; dan (3) menciptakan situasi pembelajaran yang aktif dan bermakna bagi siswa.
Teori Belajar yang Mendukung Model Pembelajaran Brain Based Learning (BBL).
Teori atau landasan filosofis yang mendukung model BBL, diantaranya yaitu aliran psikologi tingkah laku (behaviorisme) dan pendekatan pembelajaran matematika berdasarkan paham konstruktivisme.
Aliran Psikologi Tingkah Laku (Behaviorisme)
    Tokoh-tokoh aliran psikologi tingkah laku diantaranya adalah David Ausubel, Edward L. Thorndike dan Jean Piaget. Teori Ausubel (Ruseffendi, 1988: 172) terkenal dengan belajar bermakna dan pentingnya pengulangan sebelum belajar dimulai. Teori Thorndike (Hudoyo, 1988: 12) diantaranya mengungkapkanthe law of exercise (hukum latihan) yang dasarnya menunjukkan bahwa hubungan stimulus dan respon akan semakin kuat manakala terus-menerus dilatih dan diulang, sebaliknya hubungan stimulus respon akan semakin lemah manakala tidak pernah diulang. Jadi semakin sering suatu pelajaran diulang, maka akan semakin dikuasai pelajaran itu. Sedangkan teori Piaget (Ruseffendi, 1988: 132-133) mengungkapkan:
  1. Perkembangan intelektual terjadi melalui tahap-tahap beruntun yang selalu terjadi dengan urutan yang sama.
  2. Tahap-tahap itu didefinisikan sebagai kluster dari operasi-operasi mental (pengurutan, pengekalan, pengelompokan, pembuatan hipotesis, penarikan kesimpulan) yang menunjukkan adanya tingkah laku intelektual.
  3. Gerak melalui tahap-tahap itu dilengkakan oleh keseimbangan yang menguraikan interaksi antara pengalaman (asimilasi) dan struktur kognitif yang timbul.
Aliran Konstruktivisme
Pendekatan paham konstruktivisme mengungkapkan bahwa belajar matematika adalah proses pemecahan masalah. Ruseffendi (1988: 241) menyatakan bahwa pemecahan masalah itu lebih mengutamakan kepada proses daripada kepada hasilnya (output). Guru bukan hanya sebagai pemberi jawaban akhir atas pertanyaan siswa, melainkan mengarahkan mereka untuk membentuk (mengkonstruksi) pengetahuan matematika sehingga diperoleh struktur matematika.
DAFTAR PUSTAKA
  • Badudu, J. S., & Zain, S. M. (1994). Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
  • Gordah, E. K. (2009). Meningkatkan Kemampuan Koneksi dan Pemecahan Masalah Matematik Melalui Pendekatan Open Ended. Tesis Pascasarjana UPI Bandung: Tidak diterbitkan.
  • Hernowo. (2008). Menjadi Guru yang Mau dan Mampu Mengajar Secara Menyenangkan. Bandung: MLC.
  • Hernowo. (2008). Menulis Feature di Dunia Venus. [Online]. https://internalmedia.wordpress.com/2008/02/19/menulis-feature-di-dunia-venus/. [1 Desember 2010].
  • Hidayati, A. (2005). Penerapan Model Pembelajaran Generatif Matematika dalam Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Siswa. Skripsi pada Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA UPI Bandung: Tidak diterbitkan.
  • Jensen, E. (2008). Pembelajaran Berbasis Kemampuan Otak: Cara Baru dalam Pengajaran dan Pelatihan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
  • Lestari, P. (2009). Peningkatan Kemampuan Pemahaman dan Koneksi Matematis Siswa SMK Melalui Pendekatan Pembelajaran Kontekstual. Tesis Pascasarjana UPI Bandung: Tidak diterbitkan.
  • Makmun, A. S. (2007). Psikologi Kependidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
  • Mariana, T. (2008). Implementasi Pembelajaran Matematika dengan Menggunakan Strategi Working Backward untuk Meningkatkan Kemampuan Koneksi Matematika. Skripsi pada Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA UPI Bandung: Tidak diterbitkan.
  • Mulyana, T. (2008). Pembelajaran Analitik Sintetik untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif Matematik Siswa Sekolah Menengah Atas. Disertasi Pascasarjana UPI Bandung: Tidak diterbitkan.
  • Rohendi, D. (2009). Kemampuan Pemahaman, Koneksi, dan Pemecahan Masalah Matematik: Eksperimen terhadap Siswa Sekolah Menengah Atas Melalui Pembelajaran Elektronik (E-Learning). Disertasi Pascasarjana UPI Bandung: Tidak diterbitkan.
  • Sapa’at, A. (2009). Brain Based Learning. [Online]. Tersedia: http://matematika.upi.edu/index.php/brain-based-learning/. [6 Juli 2010].
  • Sukmawati, E. (2009). Pengaruh Pembelajaran ‘KUASAI’ Terhadap Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa SMP. Skripsi pada Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA UPI Bandung: Tidak diterbitkan.
  • Uno, H. B. (2009). Teori Motivasi dan Pengukurannya. Jakarta: Bumi Ak


Tidak ada komentar:

Posting Komentar